Senin siang (14/2019) banyak tokoh bidang perumahan rakyat dan pengembang berkumpul di Wannabe Cafe & Resto, Kebayoran Baru, Jakarta. Ramai dan meriah suasananya karena didukung oleh suasana dan desain interior ruangannya yang klasik.
Hari itu adalah hari istimewa bagi The HUD Institute, sebuah lembaga nonprofit tentang kajian perumahan dan pengembangan perkotaan yang berulang tahun yang kedelapan sejak ia dibentuk oleh 17 orang tokoh di kalangan pemangku kepentingan sektor perumahan rakyat pada Jumat, 14 Januari 2011 yang lalu. The HUD Institute sendiri adalah nama pemberian oleh Suharso Manoarfa, Menpera pada waktu itu yang baru pulang dari Amerika Serikat sehabis bertemu dengan kementerian perumahan di Amerika yang bernama HUD.
Ya hari itu berkumpul Pak Cosmas Batubara, Pak Suharso Manoarfa, Theo L. Sambuaga- tiga orang mantan Menteri Perumahan Rakyat, Soelaeman Soemawinata, Ketua Umum DPP REI yang juga Ketua Dewan Pengawas The HUD Institute, dan beberapa tokoh lain lain, termasuk Khalawi AH, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR.
Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute yang pernah menjadi Deputi Kemenpera Bidang Perumahan Formal itu, tentu menjadi orang paling sibuk pada Senin siang itu sebagai tuan rumah.
Delapan tahun yang penting bagi HUD. Dari bukan siapa-siapa menjadi lembaga yang ‘ditakuti’ oleh pelaku perumahan rakyat, begitu kata Ketum DPP REI. Ya.. HUD Institute mengokohkan diri sebagai lembaga kajian yang fokus pada isu perumahan rakyat dan perencana perkotaan itu sangat. Banyak dari anggotanya adalah pribadi pribadi yang berkompeten sebagai orang perumahan rakyat yang datang dari berbagai macam profesi, mulai dari arsitek, perencana perkotaan, ahli kajian perumahan, pengembang, advocat hingga wartawan.
BACA JUGA: Manhattan, Kota Berharga US$3 Triliun Pernah ditukar Pulau Run di Maluku
Tak heran, Dirjen Penyediaan Perumahan meminta HUD terus mengambil peran dalam pelaksanaan program perumahan dengan cara memberikan masukan bahkan kalau perlu menciptakan rumusan bagi pengembangan perumahan rakyat. Keberadaan HUD dianggap oleh Khalawi sebagai mitra untuk mewujudkan cita-cita perumahan rakyat. Setelah klaim keberhasilan pembangunan 1 juta unit rumah pada 2018, Khalawi memasang target pembangunan 1.250.000 unit pada tahun ini dengan harapan 50% dari sumbangan pembangunan oleh pengembang swasta.
Maklumat
Dalam momentum sewindu keberadaan lembaga ini, kemarin, HUD mengeluarkan delapan butir maklumatnya. Kedelapan butir maklumat itu adalah:
1. Maklumat ini beranjak dari rujukan utama, sahih dan otentik dalam berbangsa dan bernegara yakni Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun UUD 1945 yang secara sadar dan jelas memberi makna pernyataan kemerdekaan rakyat Indonesia dari asing dalam segala manifestasinya untuk mewajudkan kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pernyataan kemerdekaan itu tidak berhenti namun dilanjutkan dengan tekat sungguh-sungguh membentuk dan menjadi Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesejahteraan umum termasuk pula kesejahteraan perumahan yang kemudian menjadi norma konstitusi UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1).
Tak ada orang yang tak berkehendak atas tempat, hunian dan mengambil spasial ruang bagi dirinya dan kehidupannya. Sebab itu pemenuhan hak atas hunian sebagai wujud dari hak bertempat tinggal bagi seluruh rakyat (for all) sebagai hak dasar, hak asasi manusia, dan hak konstitusi yang bukan hak dan hal yang dianggap muskil sebab watak konstitusi adalah cita-cita realisitis-idealis yang diolah dari pikiran-pikiran puncak dan utama pendiri bangsa. Namun kehendak mendasar akan kesejahteraan umum yang kemudian dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 sebagai berhak hidup sejahtera lahir dan batin, yang diikuti pertama-tama dengan hak bertempat tinggal (dari empat serangkai hak konstitusi Pasal 28 H ayat (1): hidup sejahtera lahir batin; hak bertempat tinggal; mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; memperoleh pelayanan kesehatan). Sehingga dimensi, bobot dan ikhtiar terhadap hak bertempat tinggal juncto perumahan dan pembangunan perkotaan musti setara derjat pengurusannya dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; dan hak memperoleh pelayanan kesehatan.
Amanat konstitusi atas hak bertempat tinggal yang termasuk bab hak asasi manusia itu menjadi tanggungjawab negara terutama pemerintah yang eksplisit berbunyi dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian hak bertempat tinggal melekat integratif pada hak hidup sejahtera lahir dan batin, bersumber dari pemikiran terbaik para pendiri bangsa (founding fathers) dan kehendak melaksanakan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17-08-1945.
2. Dengan landasan konstitusional tersebut, maka pemenuhan hak bertempat tinggal itu tidak akan dan jangan pernah berhenti, apalagi dikurangi dan diperlambat menuju kesejahreraan perumahan. Kehendak kemanusian yang mendasar itu tidak sepatutnya tergerus dan melemah. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman kokoh berorientasi sebagai ikhtiar kesejahteraan rakyat, dan karenanya program perumahan rakyat jangan direduksi hanya kegiaatan mengupayakan angka kuantitatif capaian pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan bukan hanya derap mendongkrak eskalasi fiskal pembangunan perumahan, apalagi cuma kegitan penyerapan statistik pembiayaan perumahan MBR saja, namun mengupayakan dan menuju pemenuhan hak bermukim guna kesejahteraan perumahan sebagai elemen sejahtera lahir dan batin. Karenanya rumah dan perumahan bukan hanya unit hunian, namun menjadi unit menggerakkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia, dengan keandalan penyelenggaraan pemerintahan dan tata kelola pembanguan.
Sungguh-sunggh dan terus menerus mengguatkan tekat dan keyakinan mengupayakan kesejahteraan perumahan patut terus dirawat dan ditingkatkan dengan menginspirasi Pidato Mohammad Hatta dalam Kongres Perumahan tahun 1955. “…tjita-tjita oentoek terselenggaranja keboetoehan peroemahan rakjat boekan moestahil apabila kita soenggoeh-soenggoeh maoe dengan penoeh kepertjajaan, semoea pasti bisa…”. Mohammad Hatta bahkan menawarkan program yang bersifat konkrit: “Satu Rumah Sehat Untuk Satu Keluarga”. Butir dan semangat Kongres Perumahan 1950 (“KP 1950”), 25-30 Agustus 1950 di Bandung itu hingga kini masih relevan, dan perlu dengan sungguh-sungguh dan segera dipenuhi sebagai bukti bakti kita kepada cita-cita Proklamasi.
3. Menjadikan Pembukaan UUD 1945 dan hak konstitusi atas kesejahteraan rakyat secara lahir dan batin, maka arah penyelenggaan perumahan dan kawasan permukinan bukan cuma mengupayakan angka kuantitatif capaian dan penyerapan statistik pembiayaan perumahan MBR, namun setarikan nafas adanya kepastian arah peningkatan kesejahteraan rakyat lahir dan batin dan untuk semua (for all).
Karenanya amat penting pemihakan yang memastikan peningkatan derajat kualitas sosio-kultural, keberlanjutan tujuan-tujuan pembangunan, indeks pembangunan manusia, indeks kebahagiaan, dan lain-lain. Tak bertanggungjawab membiarkan ada warga masyarakat yang tertinggal, menjadi korban luka dan tersisih dari dan atas nama pembangunan.
Maklumat ini mengingatkan betapa pentingnya arah kebijakan makro-strategis yang musti menjadi perhatian dalam merancang masa depan kemajuan bangsa bidang perumahan dan pembangunan perkotaan setidaknya dalam tahap 20 tahun berikut sebagai rencana pembangunan jangka panjang nasional, maupun rencana pembangunan jangka panjang nasional.
Tantangan yang besar di tengah zaman yang berubah dengan amat cepat (hyper change), urbanisasi, perubahan iklim, resiko alam dan darurat kebencanaan, berkompetisi dengan pembangunan kota-kota yang berskala supermetropolitan pada era revolusi industri 4,0 maka patut merefleksi dan mengingatkan pembangunan perumahan rakyat.
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU PKP”) dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU Rusun”), yang musti menyasar dan mengoptimalkan manusia dalam pembangunan sebagai modal manusia (human capital) dengan penghargaan potensi humanisnya. Karena itu pembangunan perumahan rakyat untuk rakyat menjadi ikhtiar membangun “mesin” kesejahteraan bukan beban pembangunan.
Penting pula mengadvokasi penyelenggaan pembangunan dengan perangkat kelembagaan dan aparatur dengan kapasitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berikut modal sosial (social capital). Termasuk pula pemberdayaan pelaku/pelaksana nonpemerintah/swasta, dengan kebijakan kemitraan yang partisipatif dan inklusif, dengan memperkenankan kearifan lokal, sehingga pembangunan perumahan rakyat menjadi tepat nilai, tepat sasaran. Hal-hal itu dirancang partisipatif menjadi kebijakan dan strategi nasional (national grand policy and strategy) bidang perumahan dan dan pembangunan perkotaan, serta peta jalan (roadmap) yang pasti dan tentunya akuntabel dan transparan.
Amat penting pula mengangkat urusan pembangunan perumahan dan permukiman yang tak terlepaskan kaitannya dengan pembangunan perkotaan, sehingga berkolerasi dengan mandat, portopolio dan kapasitas penyelenggaraan bidang perumahan, permukiman dan perkotaan yang berasal dari hak konstitusi. Namun demikian, maklumat ini mengingatkan semakin pentingnya pengembangan human capital penyelenggara pembangunan, kultur birokrasi, tata kelola pemerintahan yang bersih, serta visi dan kapasitas kepemimpinan yang pada gilirannya menjadi paling terdepan dalam pelayanan dan konduktor pembangunan di lapangan.
4. Dengan landasan konstitusi, serta kehendak yang kuat mengupayakan kesejahteraan perumahan, dengan segenap problematika negeri ini yang khas termasuk ikhwal kerentanan dan resiko kebencanaan, dan belum terbangunnya secara utuh dan tersistem atas turunan segenap komponen dasar perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan maka penting merumuskan turunan kebijakan yang mencakup 5 (lima) komponen dasar hak bermukim (KDHB ) yakni penyediaan tanah, penataan ruang, infrastruktur dasar, pembiayaan perumahan, teknik, teknologi dan bahan bangunan strategis.
Jangan abaikan dan segerakan-lah menyusun kebijakan turunan 5 KDHB secara utuh dan lengkap, efektif dan partisipatif ke dalam norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK). Hal tersebut menjadi alasan terus melakukan pengembangan, inovasi dan percepatan serta tepat sasaran dalam pembangunan perumahan dan perkotaan.
Untuk menjadikannya sebagai suatu kerangka nasional bagi kementerian/lembaga, termasuk menjadi disiplin bagi pelaku pembangunan nonpemerintah/swasta maka beralasan The HUD Institute mendorong Pemerintah mengembangkan suatu sistem nasional perumahan dan pembangunan perkotaan yang mengacu kepada landasan konstitusi dan berbasis kepada peraturan perundang-undangan.
Maksud dirancang sistem nasional itu untuk mendukung efektifitas otonomi daerah, menghargai kearifan lokal, keutamaan daerah, membuka peranserta dan kerjasama pemerintah dengan non dan kerjasama/badan privat (swasta), bahan publik (public). Bangunan sistem nasional itu mustilah tidak mengabaikan pemberdayaan, perlindungan dan pemihakan kepada warga masyarakat dan hak komunitas, yang mengakomodir dan mengatasi problematika sosial-ekonomi dan budaya, juga kesenjangan formal norma-norma dalam lingkup UU PKP dan UU Rusun dengan pengaturan pemerintahan daerah, pengaturan pertanahan dan sumberdaya alam, pengaturan infrastuktur dasar, pengaturan pembiayaan perumahan, dan pengaturan teknik, teknologi dan bahan bangunan strategis yang terintegrasi sebagai suatu sistem nasional.
5. Ijtihat mendorong sistem nasional dimaksud menjadi agenda bangsa dan ikhtiar kolektif untuk mengangkat derajat, peran, fungsi, dan kiprah negara terutama pemerintah dalam pembangunan perumahan rakyat yang berada dan tidak terpisahkan dengan pembangunan perkotaan guna kesejahteraan rakyat.
Namun dengan menggali sedemikian rupa nilai, potensi dan kapasitas nonpemerintah dalam berbagai bentuk kerjasama, peranserta, partisipasi yang dimaksudkan menjadi corak inklusifitas warga masyarakat/publik ke dalam sistem nasional pembangunan perumahan dan perkotaan yang semakin berkembang sesuai kemajuan amat cepat perkotaan dan seriusnya tantangan urbanisasi.
6. Sistem nasional pembangunan perumahan dan perkotaan itu setarikan nafas dengan mengupayakan sistem jaminan perumahan rakyat yang bermaksud memastikan hunian yang layak, terjangkau, berkeadilan, tepat sasaran dan untuk semua. Bahkan sejalan dengan eskalasi kesejahteraan lahir dan batin, maka derajat kelayakan perumahan semakin perlu ditingkatkan standar dan diluaskan indikatornya, bukan hanya standar dan indikator yang stagnan, jangan pula tergerus dan menurun.
Hal itu tersebut beralasan dan patut didorong bukan saja karena amanat konstitusi atas kesejahteraan perumahan, namun diupayakan menjadi bagian tidak terpisahkan dari agenda pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals), dalam rangka penghargaan, pemenuhan, pelaksanaan dan pemajuan hak bertempat tinggal.
Tak boleh mengabaikan kinerja dan geliat pembangunan perumahan rakyat dimaksud dengan ikhtiar sungguh-sungguh dan penuh percaya sebagaimana butir pidato Mohammad Hatta pada KP 1950, yang bersesuaian dengan prinsip kemajuan dan pemenuhan penuh (progresively and full achiement) dari kovenan hak ekonomi sosial budaya yang baru muncul kemudian.
7. Dalam mengupayakan kesejahteraan lahir dan batin termasuk hak bertempat tinggal yang dirumuskan sebagai penyelenggaraan perumahan dan pembangunan perkotaan, tak terlekakan dan relevan dengan mendorong optimalisasi tanggungjawab negara mengefektifkan hak menguasai negara guna penyediaan tanah untuk perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan. Bagaimanapun indikator kesejahteraan dan kebijakan nasional peruntukan dan penggunaan serta pemanfaatan tanah untuk hak bertempat tinggal justru tidak boleh ditinggalkan dalam kebijakan pertanahan nasional.
Penyediaan tanah sebagai maksud dari peruntukan, penggunaan dan pemanfatan tanah untuk perumahan dan pembangunan perkotaan dengan mengoptimalkan hak menguasai negara, sehingga mengendalikannya untuk kepentingan publik dengan mengefektifkan fungsi sosial tanah. Kuat dan permanennya pertautan antara perumahan dan pembangunan perkotaan dengan pertanahan dengan landasan wewenang konstitusional memastikan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (vide Pasal 33 ayat (3) UUD 1945) dan hak menguasai negara (vide UUPA).
Oleh karena itu, beralasan The HUD Institute mengadvokasi kebijakan yang mengintegrasikan pokok kebijakan pertanahan ke dalam sistem nasional perumahan dan pembangunan perkotaan, membentuk lembaga bank tanah yang mencakup kepentingan perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan, membuat norma-norma penyediaan tanah untuk perumahan dan pembangunan perkotaan dalam RUU Pertanahan, bahkan mengkaji dan menggagas penyediaan tanah untuk perumahan dan pembangunan perkotaan masuk dalam reforma agraria.
8. Untuk maksud itu, penyelenggaraan perumahan dan pembangunan perkotaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tingkat pusat maupun daerah bukan saja menghendaki kebijakan anggaran negara yang meningkat signifikan walaupun bertahap, namun tidak menafikan pembiayaan berasal dari kemitraan dan bijak mendorong kegotongroyongan.
Namun kebijakan anggaran sesuai dengan sistem nasional perumahan dan pembangunan perkotaan, dengan landasan konstitusi dan butir KP 1950 yang masih kuat relevansinya, yang dimanfaatkan secara efektif dan tepat sasaran dengan tata kelola pemerintahan yang bersih. Hal-hal itu bersifat konstitusional, logis dan penting mengupayakan sistem kelembagaan sebagai bidang pemerintah yang berwenang dalam membumikan hak konstitusional bertempat tinggal dengan memperkuat mandat, kapasitas, lingkup tugas dan fungsi pembangunan perumahan dan perkotaan.
Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Jakarta, 14 Januari 2019