SERPONG, tpcom— Pengembang mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan khusus sebagai insentif untuk menarik generasi milenial, membelanjakan pendapatannya pada produk properti, khususnya hunian daripada belanja gaya hidup yang lebih banyak dilakukan selama ini.
Pasar milenial adalah pasar properti medium yang tidak masuk dalam kelompok program subsidi MBR karena penghasilkan mereka berkisar Rp5 juta hingga Rp15 juta. Sesungguhnya kelompok ini butuh kebijakan subsidi karena daya beli mereka sangat tanggung alias tak mampu untuk masuk sepenuhnya di pasar perumahan non subsidi atau komersial.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Kehormatan REI Lukman Purnomosidi dan Ketua DPD REI DKI Jakarta Amran Nukman saat berdiskusi dengan beberapa wartawan di sela-sela acara pameran Properti dan Otomotif di ICE BSD Serpong, Tangerang, Minggu (4/11).
BACA JUGA: Tak Hanya di RI, Generasi Milenial Susah Beli Rumah, di Singapura Juga
Merujuk data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), generasi milenial pada 2020 akan mencapai 35% dari total populasi rakyat Indonesia atau sebanyak 75 juta jiwa. Mereka juga menjadi pangsa terbesar dari angkatan kerja di Indonesia saat ini yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 22,5 juta orang.
Dalam hal ini, Amran Nukman melihat perhatian pemerintah kepada generasi milenial sebetulnya sudah tampak dibeberapa sektor. Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan sering mengatakan bahwa generasi milenial itu adalah tulang punggung ekonomi Indonesia masa depan.
Sementara itu, lanjutnya, ada riset yang mempublikasikan, lantaran harga rumah tidak sebanding dengan pendapatan mereka, generasi milenial terancam tidak bisa memiliki rumah pada 2020. Menurutnya, generasi milenial atau yang lahir antara tahun 1981-1994 itu ternyata belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah dan otoritas perbankan, sebagai sasaran kebijakan guna bisa membeli atau memiliki rumah.
“Nah, hal itu tentu harus menjadi perhatian pemerintah dan otoritas perbankan. Bagaimana agar ada insentif atau paket-paket kebijakan perumahan untuk mereka. Sampai sekarang kami belum melihat intervensi regulator menyentuh sektor perumahan bagi generasi milenial itu. Padahal ini mendesak. Ini alarm serius yang harus ditindaklanjuti regulator,” kata Amran dalam kesempatan tersebut.
Menurut Amran, kebanyakan dari milenial, incomenya sudah di atas Rp5 juta per bulan, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan subsidi perumahan dari pemerintah. Sementara untuk membeli rumah komersial dengan harga Rp300 – Rp500 jutaan pun sulit.
Untuk itu, Amran mengusulkan supaya generasi milenial bisa memiliki hunian, mereka sebaiknya diberi fasilitas untuk bisa membeli rumah semi MBR dengan harga berkisar Rp140 juta – Rp500 juta dengan 50% subsidi FLPP. Di sisi lain, lanjutnya, pasar milenial itu juga diberi keringanan PPN dan PPh.
“Generasi milenial ini perlu disentuh program subsidi supaya income mereka bisa dibelanjakan secara produktif. Tarik mereka membeli hunian yang bisa menjadi aset produktif bagi mereka. Kalau tidak, maka generasi milenial ini bisa menggerus devisa karena mereka cenderung lebih memilih traveling ke luar negeri, gonta ganti ponsel mahal impor atau memburu konser musik di luar negeri yang mayoritas menghabiskan uang tabungan atau penghasilan mereka,” ungkapnya.
Lukman Purnomosidi mengatakan kebijakan insentif untuk pasar milenial tidak merugikan pemerintah, bahkan malah memberikan keuntungan karena menumbuhkan kelompok masyarakat sadar aset produktif.
“Kalau ditarik garis lurusnya, pasar milenial ini kan masyarakat muda produktif dengan penghasilan berkisar Rp5 juta hingga Rp15 juta dengan target harga huniannya Rp160 juta hingga Rp600 juta. Saya rasa ini masih relevan kalau dimasukan dalam kelompok masyarakat yang mendapatkan subsidi,” ujarnya.
Menurut Lukman, kalau mengacu pada angka BPS maka potensi pasar properti atau rumah yang bisa digerakkan oleh generasi milenial mencapai 300.000 unit per tahun dengan harga rata-rata Rp500 juta atau memunculkan kekuatan belanja pasar yang mencapai Rp150 triliun per tahun.
“Kalau ini bisa didorong oleh pemerintah maka bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang 100% bermuatan lokal. Dan kebijakan insentif yang bisa bentuk subsidi itu tidak akan merugikan pemerintah,” katanya lagi.
Dia memberi beberapa contoh insentif untuk pasar milenial itu, seperti pengenaan PPN 5% dari kebijakan normal 10%, pengurangan PPh dan subsidi selisih bunga KPR.
Sedangkan, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) Soelaeman Soemawinata, mengatakan kelompok milenial berusia 25 hingga 35 tahun dengan rentang penghasilan antara Rp 8 juta hingga Rp 20 juta-an per bulan menjadi target pangsa pasar bagi industri perumahan.
“Kelompok primer ini merupakan target end-user. Mereka belum memiliki rumah karena tidak memiliki tabungan yang cukup untuk bayar uang muka pembelian rumah. Selama ini penghasilannya selalu habis untuk membiayai gaya hidup yang mahal seperti bergonta-ganti gawai, traveling ke lokasi tujuan wisata, atau hang-out di restoran dan kafe,” katanya.
Sialnya lagi, kata Eman, kebanyakan dari generasi milenial yang telanjur punya gaya hidup mewah dan berkantong pas-pasan ini maunya bertempat tinggal di apartemen di tengah kota. Padahal penghasilannya tidak akan mampu mencicil atau sekadar membayar uang mukanya saja. “Pertanyaannya, apakah generasi milenial ini mau menurunkan sedikit saja gengsinya itu untuk membeli rumah di pinggiran kota,” tuturnya.
Untuk itui, menurut Eman, pemangku kebijakan dan pelaku usaha pembangunan perumahan harus memikirkan upaya penyediaan fasilitas hunian dengan pola kepemilikan bagi generasi milenial. Pelaku usaha pengembangan perumahan harus membuat inovasi dengan menyediakan hunian seharga Rp 400 juta-an hingga Rp 600 juta-an bagi generasi milenial. Hitungannya, rumah seharga itu dapat dibeli dengan cara mencicil kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulan selama 15 tahun.
“Itu untuk generasi milenial dengan rerata penghasilan Rp 18 juta per bulan karena asumsi maksimal cicilan KPR adalah sepertiga gaji,” kata Presiden Federasi Realestat Dunia (FIABCI) Regional Asia Pasific ini.