JAKARTA, tpcom- Pemerintah dinilai perlu segera menerbitkan paket kebijakan hunian bersubsidi untuk konsumen milenial agar mereka bisa ditarik untuk menjadi membeli properti dan hunian sebagai aset produktif.
Generasi milenial, identifikasi untuk masyarakat baru kelahiran 1981-2000 atau berumur 20-30 tahun itu- dinilai selama ini kesulitan membeli properti karena mereka tidak masuk dalam kelompok penerima program hunian bersubsidi. Hal itu disebabkan penghasilan mereka yang berkisar Rp7 juta hingga Rp15 juta atau lebih tinggi dibandingkan batas maksimal pendapatan MBR penerima program hunian bersubsidi.
“Generasi milenial ini perlu ditarik masuk membeli properti, terutama hunian. Mereka populasinya besar tapi belum tersentuh dalam program hunian rakyat. Maka sangat mendesak untuk mengulirkan paket kebijakan hunian bersubsidi untuk generasi milenial ini,” ujar Lukman Purnomosidi, Chairman Indonesia Housing Creative Forum dalam seminar DP KPR 0 Rupiah Dongkrak Kebangkitan Properti Generasi Millennial yang digelar Majalah Indonesia Housing di Jakarta, Selasa (4/9).
BACA JUGA: Budi Yanto Lusli: Ledakan Penduduk, Bencana Ekologi dan Rumah Vertikal
Besarnya populasi kelompok milenial yang disebut mencapai 35% dari total jumlah penduduk Indonesia, menurut Lukman harus menjadi perhatian serius dalam program perumahan rakyat.
“Generasi milenial ini perlu disentuh program subsidi agar income mereka bisa dibelanjakan secara produktif. Tarik mereka membeli hunian yang bisa menjadi aset produktif bagi mereka. Kalau tidak generasi milenial ini bisa menggerus devisa karena mereka cenderung suka traveling ke luar negeri. Pola hidup milenial yang suka menikmati hidup, termasuk dengan traveling itu perlu ditarik agar masuk ke investasi aset. Properti atau rumah adalah produk yang bagus bagi mereka sekaigus bagus bagi perekonomian nasional,” katanya lagi.
Dalam acara yang sama, Executive Vice President Non Subsidized Mortgage and Consumer Lending Division PT Bank Tabungan Negara, Suryanti Agustinar, mengatakan BTN mulai serius mengelola pasar milenial agar masuk ke pasar properti.
“Kebutuhan milenial itu terus kami sediakan. Salah satu mewadahi proses transaksi secara digital atau online karena generasi ini sangat melek dengan digital. Kami juga menawarkan program KPR dengan uang muka rendah dan berbagai skim pembiayaan yang mudah bagi generasi milenial ini,” ujarnya.
Hunian Harga Tejangkau
Terkait soal pasokan hunian dengan harga terjangkau, Managing Director SPS Group, Asmat Amin, mengatakan pihaknya konsisten untuk membangun proyek hunian MBR tersebut, termasuk untuk generasi milenial. Konsistensi itu ditunjukkan dengan capaian pembangunan rumah terbanyak secara nasional selama tiga tahun berturut-turut selama periode 2015-2017.
“Sedikitnya, kami selalu berhasil membangun hunian lebih dari 15 ribu unit per tahun dengan harga terjangkau. Ini upaya untuk membantu pemerintah menyelesaikan persoalan backlog hunian atau kesenjangan antara jumlah pasokan dengan permintaan hunian yang hingga sekarang masih tergolong tinggi. Backlog rumah tahun ini mencapai angka 11 juta unit,” ujarnya.
Asmat Amin memaklumi bahwa keengganan developer membangun hunian bagi MBR tidak lepas dari masih kecilnya paket insentif yang diberikan oleh pemerintah. Adanya skema FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan properti) dan subsidi bunga kredit hunian belum mampu sepenuhnya memikat minat dunia usaha sektor properti.
Sementara itu, Linda Maulidina, Direktur Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut, mengatakan keputusan Bank Sentral untuk kembali melakukan relaksasi ketentuan Loan to Value (LTV) KPR perbankan adalah upaya serius dari regulator untuk mendorong menguatnya iklim usaha di sektor properti dan perumahan.
Pada Agustus lalu, Bank Indonesia memperlakukan keringanan persyaratan kredit konsumer perumahan atau KPR dengan kebolehan untuk memberlakukan uang muka 0%.
“Melalui DP 0% itu diharapkan bisa mendorong aktivitas bisnis properti semakin menggeliat sehingga secara konsisten masih bisa menjadi mesin penggerak perekonomian nasional yang hingga kini masih cenderung melandai,” kata Linda Maulidina.