TPCOM, JAKARTA- Pemprov DKI Jakarta diminta menjadikan pungutan uang denda pelanggaran batas koefisien lantai bangunan (KLB) pada proyek gedung properti digunakan untuk biaya pembangunan hunian bagi warga kelas menengah ke bawah di Ibukota.
Penggunaan dana denda pelanggaran KLB dari pengembang untuk pembangunan proyek jembatan tambahan di simpang susun Semanggi dinilai kurang tepat karena seharusnya untuk pembangunan hunian murah.
Ketua The HUD Institute Zulfi Syarif Koto mengatakan nilai dana pungutan denda KLB proyek bangunan tinggi di Jakarta itu sangat besar, yang ditaksir mencapai triliunan rupiah dan itu bisa jadi sumber pendanaan bagi program hunian kelas menengah bawah yang perlu proteksi dari pemerintah.
“Saya nilai penggunaan dana denda KLB untuk keperluan di luar program hunian itu salah. Harus diprioritaskan untuk membiayai pembangunan proyek rusunami, apartemen murah atau rusunawa yang peruntukannya untuk masyarakat menengah bawah. Kalau itu dilakukan maka itu juga sudah menjalankan program hunian berimbang seperti amanat UU,” ujarnya kepada Transaksiproperty.com, Selasa (29/8).
Dalam hal ini, lanjutnya, pengembang atau perusahaan yang membangun gedung perkantoran ataupun apartemen yang melewati ketentuan KLB ikut terbantu dalam mewjudukan program hunian berimbang di Ibukota. Dengan begitu, ada keadilan dalam sistem bisnis properti, dimana denda pelanggaran KLB proyek properti mewah diarahkan untuk menyediakan hunian bagi masyarakat menengah bawah.
Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat era Menteri Muhammad Yusuf Asy’ari ini, optimistis kebutuhan dana untuk pengadaan hunian murah bagi warga DKI bisa dipenuhi dari denda KLB tersebut.
“Coba saja hitung. Denda KLB dari satu proyek gedung yang dibangun PT Mitra Panca Persada saja nilainya ratusan miliar yang digunakan untuk Simpang Susun Semanggi. Di Jakarta banyak sekali proyek gedung seperti itu,” ujarnya. Catatan Transaksiproperty.com, denda yang disetorkan oleh anak perusahaan asal Jepang, Mori Building Company itu mencapai Rp579 miliar dan digunakan untuk Jembatan Semanggi senilai Rp360 miliar.
Menurut Zulfi, banyak proyek lain yang bangun dengan dana denda KLB itu yang tidak ada hubungannya dengan program hunian. “Kalau dana denda itu lebih fokus untuk hunian, saya yakin cukup untuk memasok hunian warga kelas menengah bawah.”
Tata Ulang BUMD Properti
Ketua The HUD Institute ini mengatakan menyetujui gagasan yang disampaikan oleh Ketua Kehormatan DPP REI Lukman Purnomosidi soal pembentukan Housing Development Board dan sekaligus penguatan BUMN Perumahan di DKI Jakarta.
Baca pula: Usulan Lukman Soal Usulan Agar DKI Kaji Housing Development Board & BUMD
Bahkan, Zulfi menambahkan DKI perlu juga membentuk Housing Financing Center untuk melengkapi keberadaan HDB sekiranya dibentuk menjadi kelembagaan operasional program perumahan di Jakarta.
Hanya saja, Zulfi berbeda pendapat sedikit soal embrio pembentukan HDB yang diusulkan oleh Lukman. Dia menilai sebaiknya PT Jakarta Propertindo yang diubah menjadi HDB dengan tugas khusus pengembangan hunian kelas menengah bawah. Selanjutnya, tambah Zulfi, dua BUMD DKi yang terkait dengan properti, yaitu Pembangunan Jaya dan Sarana Jaya menjalankan core bisnis di sektor properti komersial atau properti non subsidi.
“Jadi kenapa tidak Jakarta Propertindo saja dijadikan HDB, lalu dua BUMN lain yang juga berbisnis properti terus diperkuat di properti komersial,” ujarnya lagi.