Beranda Regulasi Tiru Kesuksesan Jepang, Proyek TOD Tidak Boleh Ada Monopoli

Tiru Kesuksesan Jepang, Proyek TOD Tidak Boleh Ada Monopoli

0
BERBAGI
Diskusi fokus soal pengembangan kawasan berbasis transit atau Transit Oriented Development (TOD) serial 3.5 yang diselenggarakan oleh The HUD Institute di Hotel Ambhara, Rabu (20/4). (Foto ist)

JAKARTA, tpcom- Indonesia akan lebih banyak mengadopsi model kebijakan pengembangan bisnis kawasan berbasis transit atau Transit Oriented Development (TOD) di Jepang yang diklaim sebagai contoh negara paling sukses dalam pengembangannya.

Kementerian ATR/BPN tengah menyiapkan regulasi di bidang pertanahan untuk mendukung pengembangan TOD di Indonesia terutama kebutuhan mendesak di Jakarta yang tengah mengalami eforia proyek LRT dan MRT.

Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Himawan AS, mengatakan pihaknya sudah melakukan sutdi banding ke sejumlah negara yang telah sukses mengembangkan TOD-nya seiring dengan keberhasilam negara itu dalam pengembangan infrastruktur dan transportasi publiknya, termasuk ke Jepang dan beberapa negara Asia lainnya.

“Pengembangan TOD di Indonesia, terutama di Jakarta, kita menggunakan pendekatan redevelopment perkotaan. Beda dengan negara lain yang pengembangan TOD-nya kebanyakan development yang tentu lebih mudah dan tidak serumit pendekatan redevelopment. Dalam hal ini, Jepang adalah contoh yang paling. Mereka paling sukses dalam pengembangan TOD,” ujar Himawan di Hotel Ambhara, Rabu (20/4). Hal itu diungkapnya dalam acara Diskusi fokus soal Pengembangan Kawasan Berbasis Transit atau Transit Oriented Development (TOD) serial 3.5 yang diselenggarakan oleh The HUD Institute.

BACA JUGA: Sinarmas Land Bersiap Garap Properti TOD, Pemerintah Bantah Monopoli BUMN

Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah lanjutnya terus merencanakan kawasan TOD dengan baik dan melengkapi kebutuhan yang diperlukan khususnya dari sisi regulasi sehingga dukungan kebijakan yang tepat dapat menjadi jembatan peningkatan sistem transportasi dengan konsep yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam pengembangan TOD.

“Prinsip dari pengembangan TOD juga tidak boleh monopoli. Harus banyak pihak. Ini bisa dikendalikanm dengan kebijakan lelang konsesi TOD. Seperti potensi TOD di MRT dan LRT yang akan banyak titik-titik strategis yang bisa dikembangkan proyek TOD-nya.”

Desain Rencana Induk salah satu proyek kawasan terpadu (mixed use) terintegrasi stasiun transportasi massal (TOD) di Washington, DC. (Dok. Wiencek-associates.com)

Sedangkan, Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute pada kesempatan yang sama, mengatakan pihaknya menginginkan pembahasannya yang mendalam terkait optimalisasi aset komunitas dalam rangka pengembangan kawasan TOD yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Untuk itu, lanjutnya, acara FGD TOD Serie Ke 3.5 yang digelar pihaknya ini menjadi acara seri terakhir dari rangkaian FGD TOD yang telah dilakukan HUD sejak September 2018 yang lalu, diharapkan bisa memberikan kontribusi gagasan dan pemikiran bagi pengembangan TOD di Indonesia.

“Kali ini hal mendasar yang menjadi pokok bahasan diskusi adalah tentang Optimalisasi Aset Komunitas Dalam Rangka Pengembangan Kawasan TOD Yang Berkeadilan Dan Berkelanjutan. Harus diingat bahwa kawasan TOD itu bukanlah suatu ruang hampa dalam pengertian tanah kosong. Karena itu pengembangan TOD harus sejalan dengan pertumbuhan kota,” katanya lagi.

Kawasan TOD, nilai Zulfi, telah berisi berbagai bangunan fisik untuk berbagai kegiatan perkotaan dengan status penguasaan tanah yang sangat bervariasi. Karena itu akan ada perubahan atas nilai tanah yang merupakan sumber daya strategis dalam aktivitas kehidupan suatu kota.

“Salah satu karakteristik yang paling mendasar dari tanah adalah lokasi keruangannya tidak dapat dipindahkan dan total persediaan fisiknya relative tetap (cenderung berkurang). Terdapat hubungan erat antara nilai atau harga dengan lokasi. Tanah di lingkungan kawasan berbasis transit/ TOD tentu mempunyai tingkat aksesibilitas dan mobilitas yang tinggi sehingga nilainya akan menjadi tinggi,” tambahnya.

Diskusi ini imbuhnya perlu analisis atas sistem keterkaitan diantara asset komunitas yang ada pada pengembangan masing masing kawasan berbasis transit/ TOD di Jabodetabekpunjur. Hal ini tentunya akan bermuara pada pengembangan kawasan yang direncanakan melalui konsep land value capture, land banking dan land consolidation

Karena itu perlu integrasi, sinkronisasi dan kolaborasi diantara berbagai aktifitas dan kepemilikan dalam kawasan berbasis transit/ TOD ini. Baik itu aktifitas yang akan mengisi tata guna tanah, seperti perumahan, perdagangan, jasa, industri, rekreasi, pelayanan publik dan lain dengan sistim tansportasi/ angkutan publik yang ada.

“Pentingnya aset komunitas yang ada: dilindungi, disediakan, aksesibel, bersifat publik dan dirawat oleh penyelenggara dalam arti luas (pemerintah, pemda, masyarakat dan atau swasta) seperti jalur pedestrian hingga ruang terbuka lainnya (taman, arcade dsb).”

Himawan menambahkan perlindungan terhadap aset komunitas itu bisa diakomodasi dalam bentuk rejim perizinan dan penguatan hukum atas status HPL lahannya. Melalui penguatan status HPL itu bisa lebih memberikan kepastian hukum sekjaligus perlindungan hukum untuk izin HGU dan HGB sebagai produk hukum turunan dan lanjutannya.

“Banyak yang jadi pertimbangan untuk pengembangan TOD ini dari sisi kebijakan pertanahan, termasuk hak pengembangan lahan bawah tanah yang dibatasi sedalam 30 meter. Bisa dikembangkan lebih dari 30 meter tetapi akan menjadi otoritasi rejim perizinan. Bagaimana pemanfaatan tanah dalam melebihi dalam 30 meter harus mengantongi izinnya,” ujar Himawan.

LEAVE A REPLY