TPCOM, JAKARTA – Baru saja terkejut dengan rencana Kemen PUPR untuk mengubah nomenklatur Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan menjadi Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur, kini pemangku kepentingan sektor perumahan rakyat dibuat kecewa lagi dengan pemangkasan radikal anggaran FLPP dari Rp9,7 triliun menjadi Rp3,1 triliun.
Pemerintah memastikan pemangkasan anggaran kredit Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga 60%. Kebijakan itu menimbulkan kecemasan di kalangan pelaku industri perumahan rakyat terhadap nasib proyek perumahan karena melemahnya dukungan program subsidi pembiayaan dari pemerintah.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kemen PUPR Lana Winayanti menjelaskan kebijakan pemangkasan anggaran itu dilatarbelakangi oleh hasil evaluasi atas penyaluran FLPP di 10 provinsi teraktif dalam penyaluran program tersebut.
Dari hasil evaluasi itu ditemukan kinerja program penyediaan rumah program bersubsidi, di antaranya dibiayai dengan program FLPP hanya mampu dipenuhi sebanyak 200.000 unit dalam setahun.
Terkait dengan hal ini, lanjut Lana, begitu Bu Ditjen itu disapa, menambahkan daftar isian pelaksanaan anggaran atau DIPA yang cair pada Mei lalu baru disediakan untuk program subsidi selisih bunga (SSB) dengan nilai sebesar Rp615 miliar.
Sementara untuk anggaran program KPR FLPP belum ada kejelasan waktu pencairannya. Alokasi dana program KPR SSB sebesar Rp615 miliar itu menunjukan penambahan alokasi anggaran dari kebijakan awal yang hanya Rp312 miliar.
Program KPR FLPP dan KPR Subsidi Selisih Bunga memiliki perbedaan pada sumber dana pembiayaan oleh perbankan pelaksana program. Dalam program KPR FLPP yang menjadi menanggung utama dana yang disalurkan adalah pemerintah dibawah pengawasan Kemenkeu bersama Kemen PUPERA, dimana porsi dana yang ditanggung mencapai 90%. Sisanya yang 10% disediakan oleh perbankan penyalur KPR FLPP.
Terdapat 29 bank penyalur KPR FLPP minus BTN, yaitu 7 Bank Umum dan 22 Bank Pembangunan Daerah (BPD). Bank Umum yang menjadi penerbit KPR bersubsidi, yaitu Bank BRI (konvensional dan syariah), Bank Mandiri (konvensional), Bank BNI, Bank Artha Graha, Bank BTPN dan Bank Mayora. Sedangkan BPD yang berpartisipasi adalah Bank Sumut, Bank Riau Kepri, Bank Jambi, Bank Sumselbabel, Bank Nagari, Bank Kalteng, Bank Kalsel, Bank Kaltim, Bank BJB, Bank Jateng, Bank Jatim, Bank BPD DIY, Bank NTB, Bank NTT, Bank Sultra, Bank Sulutgo, Bank Sulselbar, Bank Kalbar, BJB Syariah, BPD Papua, BPD Sulteng, dan BPD Bali.
Sedangkan untuk program KPR SSB dibiayai penuh oleh perbankan pelaksanan program dan pemerintah hanya membayarkan selisih bunga antara bunga komersial KPR dan tingkat suku bunga subsidi yang dipatok oleh pemerintah. Kemen PUPERA memiliki kewenangan penuh dalam pelaksanaan program KPR SSB ini.
BTN, Mesin Program Yang Lebih Memilih KPR SSB
Ditjen Pembiayaan Perumahan- yang akan dihapus berganti menjadi Ditjen Pembiayaan Infrastruktur memiliki alasan lain untuk memotong dana program KPR FLPP. Alasan itu adalah disebabkan Bank BTN yang hanya ingin menjalankan program KPR SSB.
Baca pula: BTN Tetap Rajanya KPR Bersubsidi, Dana Rumah Subsidi Sudah Cair Rp28,26 Triliun
“BTN memilih hanya menyalurkan subsidi selish bunga. Bank kan dibolehkan memilih atau ikut keduanya. Kalau BTN tidak ikut FLPP kan sulit karena anggaran FLPP besar sekali,” kata Lana di sela- sela rapat evaluasi APBN 2017 dengan DPR di Senayan, Rabu (12/7).
Hal itu, lanjutnya, juga menjadi pertimbangan bagi Kemenkeu untuk mendorong pihaknya memotong dana program KPR FLPP yang penganggarannya sangat besar dan dialihkan untuk mendaian program pemerintah yang lain.
Dengan pemangkasan dana KPR FLPP itu, tuturnya, pihaknya melakukan penyelaraskan program dengan merivisi target menjadi alokasi kredit untuk perumahan bersubsidi menjadi 279.000 unit. Alokasi itu terdiri dari program KPR SSB sebanyak 239.000 unit dan program KPR FLPP sebanyak 40.000 unit. Kemen PUPR awalnya mematok target mencapai 360.000 unit yang terdiri dari KPR SSB sebanyak 240.000 unit dan dan KPR FLPP sebanyak 120.000 unit.
Kemen PUPR sendiri merancang usulan anggaran pembiayaan program perumahan rakyat pada RAPBN 2018 sebesar Rp15,54 triliun yang terdiri dari KPR FLPP sebesar Rp11,5 triliun untuk 120.000 unit, KPR SSB Rp2,6 trilun untuk 225.000 unit, Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp1,3 triliun untuk 334.500 unit dan program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebesar Rp10 miliar untuk 312 unit.
Asosiasi Pengembang dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengecam kebijakan pemangkasan dana program KPR FLPP tersebut karena dikhawatirkan menganggu program pembangunan rumah rakyat.
Junaidi Abdillah, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menilai putusan pemotongan itu bertentangan dengan komitmen awal Kemen PUPR bersama pengenbang dan perbankan.
“Akan berdampak secara psikologis kepada para pengembang, yakni semangat percepatan pembangunan rumah subsidi akan semakin menurun,” ujarnya, Kamis (14/7), sebagaimana dilansir Bisnis.com.
Sementara itu, CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menilai pemangkasan anggaran KPR FLPP itu menjadi ironi dalam mewujudkan percepatan program perumahan rakyat.
“Saat minat masyarakat MBR sedang tinggi untuk membeli rumah justru pemerintah memotong anggaran FLPP dari Rp9,7 triliun menjadi Rp3,1 triliun,” ujarnya.
Dia mendesak pemerintah untuk konsisten menunjukan komitmen dalam menjadikan pembangunan perumahan rakyat sebagai program prioritas. “Ketersediaan anggaran itu menjadi salah satu bentuk komitmen dalam menjadi perumaha rakyat sebagai program prioritas,” katanya lagi.