TPCOM, BOGOR- Kebijakan hunian bersubsidi di Jawa diusulkan diubah dari kombinasi rumah tapak dengan rumah susun menjadi sepenuhnya rumah susun untuk mengatasi kebutuhan pasokan hunian bagi masyarakat.
Konsep hunian bertingkat dalam bentuk rumah susun milik atau rusunami lebih efektif untuk menyediakan hunian dalam jumlah yang lebih besar, sekaligus menjadi solusi paling cocok dalam menghadapi kondisi ketidakseimbangan ekosistem di Jawa.
Persoalan tata kawasan dan lahan di pulau Jawa saat ini adalah makin tingginya risiko bencana alam disebabkan oleh penyusutan lahan pertanian- hutan dan sawah- sebagai wilayah konservasi yang berubah menjadi kawasan permukiman
Oleh karena itu, menurut Budi Yanto Lusli, President Director Synthesis Development, salah satu korporasi pengembang yang tengah berkembang saat ini, perlu konsep yang paling efisien sekaligus efektif agar lahan tidak banyak habis atau boros untuk kebutuhan ekspansi kawasan permukiman.
Dalam hal ini, dia mengusulkan, pemerintah fokus menggunakan dana subsidi perumahan untuk pengembangan hunian vertikal dalam bentuk rusunami yang bisa menyediakan unit hunian dalam volume yang lebih massal ketimbang rumah tapak.
“Bandingkan saja, kalau 1 ha lahan digunakan untuk rumah tapak hanya bisa untuk menyediakan sekitar 100 unit rumah, sedangkan kalau dikembangkan untuk rumah susun bisa dibangun minimal 1.000 unit rusunami. Artinya program rusunami bisa meminimalisasi penggunaan lahan untuk hunian masyarakat,” ujar Budi dalam acara Media Gathering bersama Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Hotel Aston Sentul City di Bogor, Rabu (26/4).
Lebih jauh, Budi menambahkan perubahan fungsi lahan pertanian untuk sawah maupun hutan untuk perumahan harus ditekan secara ketat di Pulau Jawa karena keseimbangan ekosistem sudah sedemikian rusak. Di tengah besarnya tuntutan kebutuhan hunian seiring dengan ledakan pertumbuhan penduduk di Jawa, maka program rusunami dianggap paling ideal sekaligus solusi yang paling logis untuk memenuhi kebutuhan hunian yang besar tersebut.
“Persoalannya mungkin lebih kepada budaya masyarakat kita yang belum familiar hidup di hunian bertingkat. Tetapi itu tidak jadi alasan, karena masyarakat harus dididik dan dibiasakan untuk konsep hunian vertikal agar tidak makin luas lahan habis untuk menyediakan hunian masyarakat,” katanya lagi.
[Catatan: Budi bersama Synthesis Development memiliki kisah sukses pengembangan hunian vertikal massal untuk masyarakat kelas menengah dengan proyek masterpiece-nya Kalibata City yang digarap seluas 12 hektare untuk membangun sebanyak 13.000 unit apartemen murah. Dalam proyek ini, Synthesis mengandeng Agung Podomoro Group, pengembang raksasa yang memiliki banyak kisah sukses dalam pengembangan hunian vertikal di Jakarta dan sejumlah kota di Indonesia]
Saat ini, lanjut Budi, kebijakan rumah bersubsidi oleh Kementerian PUPR masih mengarahkan sekitar 60%-70% dari alokasi anggaran untuk pengembangan rumah tapak. “Ini yang saya usulkan agar untuk Jawa fokus ke rumah vertikal. Untuk di pedesaan mungkin cukup rumah susun milik setinggi enam lantai atau lima lantai, sedangkan di perkotaannya baru 20 lantau atau 30 lantai,” ujarnya lagi.
Komitmen Untuk Meningkatkan Akses MBR Mendapatkan Hunian
Dalam forum yang sama, Chief Finance Officer Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Dzikran Kurniawan, mengatakan komitmen pemerintah dalam pembiayaan investasi sektor perumahan rakyat ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam mendapatkan tempat tinggal serta pembiayaan rumah layak, terjangkau dan tepat sasaran melalui dana bergulir FLPP.
Secara teknis, pengelolaan dana bergulir FLPP dtujukan untuk mendorong penurunan suku bunga KPR yang saat ini masih tinggi di Indonesia. Selain itu, juga merancang skema kredit untuk MBR berpenghasilan tidak tetap, serta pembuatan skema pembiayaan untuk rumah susun dalam pemenuhan hunian perkotaan.
“Untuk mencapai tujuan dari program ini, kami sangat memperhatikan persoalan potensi risiko dari ketidaktepatan sasaran pemberian KPR–FLPP. Dalam hal ini terkiat dengan proses seleksi, kelayakan rumah, penghunian. Juga soal mismatch antara pasokan dan permintaan perumahan dari MBR,” ujar Dzikran.
Berita terkait: