TPCOM, Artikel- Saat PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)- SMF dibentuk pada 22 Juli 2005 disambut dengan gagap gempita oleh stakeholder perumahan, seakan masalah maturity mismatch (kesenjangan antara kebutuhan pembiayaan jangka panjang tapi sumber dana jangka pendek) dari pendanaan perumahan sudah teratasi.
Apalagi perjuangan untuk membentuk perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan ini sangat panjang dan berliku yang melibatkan banyak pihak, mulai dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Bank Tabungan Negara sebagai leading sector program perumahan rakyat, pengembang dalam wadah Real Estate Indonesia (REI), DPR bahkan melibatkan USAID melalui Municipal Finance Project.
Keberadaan SMF merupakan fase lanjutan dari pencarian idealiasme cita-cita program perumahan rakyat seperti yang diamanatkan oleh UU kita. Fase pertama dimulai dari penunjukan oleh pemerintah terhadap PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., pada 1974 menjadi satu-satunya institusi keuangan yang menyalurkan KPR bagi golongan masyarakat menengah kebawah. Bank ini adalah bank warisan Belanda yang dibentuk 1897 yang bernama Postpaarbank, yang kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Tabungan Pos hingga kemudian diubah lagi menjadi Bank Tabungan Negara.
Sejalan dengan penugasan BTN sebagai bank pembiayaan perumahan rakyat, pemerintah membentuk mitra pengembangnya pada tahun yang sama, yaitu Perum Perumnas yang mendapatkan penugasan dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagai masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Kemudian ternyata BTN dalam level tertentu memiliki linkage secara simbiosis mutualisme dengan PT SMF. Jadilah dalam beberapa kali aksi korporasi, keduanya dipertemukan dalam produk sekuritisasi KPR melalui Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) pertama di Indonesia. [Klik, baca: Perluas Akses Pembiayaan Rumah, SMF Izin Terbitkan Bond Rp12 Triliun]
Setelah ketiga institusi yang berbeda jenis kelamin, tapi merupakan sebuah kesatuan cita-cita dalam misinya itu, terbentuk dan berjalan hingga kini, lalu apakah urusan perumahan rakyat sudah selesai?
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Kementerian PUPR terhadap jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah, ternyata jumlah backlog perumahan masih ada sebanyak 11.377.871 unit rumah. Backlog Kepemilikan ini dihitung berdasarkan angka home ownership rate atau persentase rumah tangga (ruta) yang menempati rumah milik sendiri, dimana sumber data dasar yang digunakan oleh Kementerian PUPR dalam perhitungan ini adalah bersumber dari data BPS.
Tapera, Yang diharapkan dan Yang ditentang
Trisula BTN, Perumnas, dan PT SMF ternyata belum menyelesaikan masalah perumahan. Persoalannya masih berputar soal maturity mismatch sumber dana pembiayaan perumahan.
Pemangku kepentingan sektor perumahan melirik lagi pembentukan tabungan khusus perumahan untuk menjadi obat bagi ketidaksesuai-an sumber pendanaan perumahan yang ada di perbankan, termasuk Bank BTN- yang bersifat dana berjangka pendek yang berasal dari produk tabungan, giro, deposito, dan sebagian dari obligasi.
Tahap perjuangan ini berhasil melahirkan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera, yang kemudian mendorong pemerintah bersegera membentuknya Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang nantinya akan mengelola tabungan Tapera.
Kebijakan Tapera sendiri menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha. Sebab mereka merasa akan menjadi pihak yang harus menanggung mobilisasi dana tabungan tersebut atas setiap pekerja yang mereka pekerjakan. Pengusaha merasa ada kewajiban berganda karena harus menanggung iyuran yang item-nya ada yang relatif sama pada iyuran BPJS Ketenagakerjaan.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menjadi salah satu himpunan pengusaha yang menyatakan berkeberatan dengan Tapera.
Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani menyatakan program Tapera bakal menimbulkan gejolak saat diimplementasikan. Karyawan dan pekerja akan ribut kalau ternyata ada pungutan baru. Sekalipun itu menjadi tanggungan pengusaha tapi akan merembet ke gaji pekerja.
Kalau Tapera berlanjut jua, maka solusi yang ditawarkan Apindo adalah me-link-kan iyuran Tapera dengan mengambil porsi iyuran Jaminan Hari Tua (JHT) pada program BPJS Ketenagakerjaan. [Klik, baca: BPJS Punya Bujet Rp64,2 Triliun Untuk Rumah Karyawan]
Agaknya suara dan usulan dari kalangan pengusaha ini layak untuk diperhatikan oleh kementerian Keuangan cs dalam proses pembentukan Tapera. Solusi yang mendekatkan pada cita-cita penyediaaan rumah bagi rakyat dan iklim yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian melalui pertumbuhan dunia usaha.
Saat ini, pemerintah melalui koordinasi Kementerian Keuangan dengan asistensi dari Kementerian PUPR terus mempersiapkan operasi kelahiran BP Tapera, sekaligus menyiapkan modal awal dan aset untuk badan tersebut. Salah satu keputusan yang diambil adalah peleburan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil atau Bapertarum-PNS ke dalam BP Tapera.
Jadi dana dan aset yang dipunyai oleh Bapertarum akan menjadi bagian dari modal awal dan aset BP Tapera yang segera dibentuk. Ada keinginan pemangku kepentingan BP Tapera bisa beroperasi pada tahun ini juga.
Jikalau Tapera terbentuk tentu tujuannya untuk makin mendekatkan akses perumahan bagi masyarakat yang terbatas secara ekonomi. Perumahan yang didukung oleh sistem pembiayaan yang sehat, berbunga rendah dan masuk dalam orbit dunia pekerja formal maupun informal. Dan bukan mengarah menjadi vested interest untuk kelompok sasaran tertentu dan mengabaikan kelompok sasaran yang lain. Untuk memandu kita pada cita-cita luhur bidang perumahan ini, baiknya kita renungkan kembali pidato Bung Hatta, selaku Wakil Presiden RI pada Kongres Perumahan Rakyat pada 25-30 Agustus 1950 di Bandung. Dalam pidatonya saat itu, Bung Hatta menyatakan, “Cita-cita untuk terselenggaranya kebutuhan perumahan rakyat bukan mustahil apabila kita mau sungguh-sungguh, bekerja keras, semua pasti bisa”.