JAKARTA, tpcom– Penjualan properti hunian selama kuartal III tahun ini naik 2,58% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Akan tetapi angka ini menunjukkan penurunan laju pertumbuhan sebesar 3,61% dibandingkan dengan kuartal II tahun ini yang dipicu oleh terbatasnya permintaan terhadap rumah hunian.
“Sejalan dengan meningkatnya penjualan properti residensial, penyaluran KPR dan KPA pada kuartal III 2017 juga menunjukkan kenaikan,” bunyi pernyataan Bank Indonesia dalam sebuah hasil surveinya, baru baru ini.
Baca: Proyek Properti Marak, Perusahaan Asuransi Yakin Panen Premi Properti Hingga 22%
Hal itu terungkap dalam hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia baru-baru ini terhadap sejumlah pengembang yang dijadikan sebagai sampel survei di 14 kota yang meliputi Jabodetabek, Baten, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak, Bankarmasin, Bandar Lampung, Palembang, Padang dan Medan.
Yang menarik dari hasil survei itu adalah kekonsistenan perilaku konsumen atau buyer properti yang memilih pembelian melalui skim pembiayaan perbankan dengan produk KPR. Menurut Bank Indonesia, 76,42% pembeli properti masih memilih kredit pemilikan rumah (KPR) sebagai fasilitas utama dalam melakukan transaksi pembelian properti hunian.
Di sisi lain, sebanyak 56,75% dari pengembang yang menjual properti, masih menggunakan dana internal perusahaannya untuk pembiayaan pembangunan proyek properti hunian yang mereka jual tersebut.
Pertumbuhan Pasar Properti Terancam
Survei Bank Indonesia mendapati opini pelaku pasar bahwa pertumbuhan bisnis properti pada kuartal IV bisa terambat oleh kebijakan suku bunga KPR yang masih tinggi, kemudian tingginya uang muka rumah, perpajakan, lamanya perizinan, serta kenaikan harga bahan bangunan.
Terkait dengan kebijakan suku bunga KPR tersebut, ungkap Survei Bank Sentral itu, suku bunga tertinggi dialami oleh konsumen di Gorontalo, sedangkan suku bunga terendah dinikmati oleh debitur KPR di Maluku.
Sebelumnya, seperti dilansir Bisnis.com, F. Rach Suherman, Penasihat Properti Suherman Management menyatakan penjualan properti oleh perantara perdagangan atau broker diprediksikan rebound tahun depan dengan kisaran pertumbuhan 25%- 40% dibandingkan dengan tahun ini yang mungkin hanya akan tumbuh 5%.
Dia menuturkan banyak faktor yang melandasinya, khususnya kondisi fundamental ekonomi yang stabil tahun depan ditambah dengan kebijakan pendukung seperti loan to Value Ratio (LTV) yang tetap dipertahankan serta upaya mendorong penyederhanaan pembangunan perumahan.
“Banyak broker yang memperoleh baik kue besar ataupun kue kecil. Dibanfingkan 2016 yang benar-benar bencana, karena pasar primer menunggu, pasar sekunder juga nggak bergerak,” katanya pada Senin (11/12).
Berdasarkan kajiannya, jika pertumbuhan ekonomi stabil, maka kondisi politik dan properti tidak akan terlalu berkorelasi. Sebaliknya jika fundamental ekonomi memburuk, maka timbulnya persoalan politik akan mempengaruhi industri properti.
Suherman mengatakan tahun ini perolehan pendapatan broker yang diasumsikan terwakili oleh agen besar yang mendominasi pangsa broker hanya akan mencapai Rp100 triliun, namun tahun depan dengan segala indikator yang baik itu , maka bisa melampaui lebih dari Rp120 triliun.
Kehadiran portal penjualan online ungkap dia juga akan menjadi mitra penggerak kinerja broker ke depannya. Pasalnya saat ini kata dia juga telah terjadi perubahan gaya pemasaran secara digital dalam mengundang, mengajak dan memberikan informasi kepada konsumen.
Adapun dalam kondisi normal, kinerja penjualan broker masih didominasi oleh pasar properti sekunder dengan komposisi 70% sisanya pasar primer sebesar 30%. Akan tetapi dalam siklus properti yang melemah maka lazimnya broker akan banyak beralih ke pasar primer.