TPCOM, Meikarta- kalau anda lupa apa itu Meikarta, adalah proyek properti kawasan modern setara kota seluas 500 hektare di kawasan Cikarang, Jawa Barat.
Proyek ambisius dari Lippo Group yang akan menelan biaya investasi yang diklaim oleh konglomerasi ini mencapai Rp278 trilliun, dalam bentuk investasi langsung yang akan dibenamkan dalam kawasan tersebut.
Lahan seluas 500 ha itu akan disulap oleh Lippo menjadi kepingan yang terdiri dari 100 ha untuk pengembangan kawasan hijau terbuka, kemudian sisanya digunakan untuk membangun 250.000 unit hunian vertikal, lalu pengembangan kawasan komersial secara bertingkat seluas 1.500.000 m2, berupa pusat perbelanjaan dan lainnya. Dalam arti, pengembangan itu tentu ada pula bagian lain yang digunakan untuk pengembangan infrastruktur jalan, drainase dan fasilitas publik lainnya.
Kalau bulan Mei lalu, Lippo Group berhasil mencetak angka penjualan 16.800 unit apartemen dalam sehari acara peluncuran penjualan perdananya, maka Kamis (17/8) lalu, Lippo mengedeklarasikan sudah berhasil menjual apartemennya hampir 100.000 unit sejak penjualan Mei lalu tersebut.
Realisasi penjualan ini maksudnya adalah yang telah melakukan booking melalui pengambilan nomor urut pemesanan (NUP) yang ditandai dengan penyetoran dana senilai Rp2 juta untuk pembelian satu unit apartemen.
Lippo dengan Meikarta-nya lagi-lagi melakukan gebrakan besar yang membuat gempar republik ini dengan gaya pemasarannya dan strategi harganya yang akan sulit ditiru oleh pengembang lain.
Menjual Prospek Masa Depan, Memancing Ikan Datang
Dalam masa kampanye penjualan produk apartemen proyek ini, Lippo melakukan kolosalisasi tentang rancangan dan arah Meikarta ke depan. Sebuah proyek perkotaan masa depan yang tersambung dalam pengembangan Perda tentang RTRW Bodebekarpur yang sudah dirancang oleh Bappenas dan Pemprov Jawa Barat.
Bodebekarpur atau kawasan integrasi Bogor- Depok- Bekasi- Kerawang, dan Purwakarta sudah menjadi kawasan rintisan kesatuan tata ruang oleh Pemprov Jawa Barat dengan harapan kawasan ini menjadi kekuatan ekonomi utama di masa depan dengan segala potensi yang dimilikinya.
Lippo ingin menjadikan Meikarta- Cikarang sebagai epicentrum dari pusat pertumbuhan baru itu. Dilalahnya, pemerintah pusat dan Pemrov Jabar juga tengah gencar menyiapkan kawasan ini melalui pengembangan sejumlah proyek infrastruktur strategis untuk menyambungkan poros Jakarta dengan Bandung.
Dengan cerdik, Lippo melakukan kolosalisasi proyek infrastuktur, seperti Pelabuhan Tanjung Priok, proyek pelabuhan Patimban, proyek Bandara Kertajati, proyek LRT hingga proyek kereta cepat Jakarta- Bandung. Semua infrastruktur menjadi pendukung sempurna terhadap keberadaan Meikarta yang akan dibangun oleh Lippo.
Baca pula: Meikarta City, Kecerdikan Intuisi Bisnis Lippo Membaca Tata Ruang Bodebekarpur
Di tengah upaya kolosalisasi terhadap prospek masa depan itu, Lippo kemudian melakukan langkah berani yang mungkin tak perpikirkan oleh pengembang atau oleh pebisnis lain. Lippo melakukan gimmick pemasaran dengan menjual unit apartemen di Meikarta secara pre sales dengan banderol harga hanya berkisar Rp6 juta per m2. Bandingkan dengan harga proyek sejenis yang sudah dijual oleh pengembang dengan harga berkisar Rp18 juta hingga Rp24 juta per m2.
Dalam hal ini, Lippo berani membuka harga jual untuk unit seluas 21,91 m2 atau sering disebut dengan tipe studio dengan harga Rp127 juta dan bayar uang muka cuma Rp6,35 juta. Lalu untuk tipe 35,76 m2 dengan harga Rp207,4 juta dengan uang muka atau uang panjar hanya Rp10,37 juta, tipe 50,42 m2 dibanderol dengan harga Rp292,43 juta dan uang muka Rp14,62 juta, tipe 33,37 m2 dengan harga Rp193,54 juta dan uang muka Rp9,67 juta hingga tipe 98,28 m2 seharga Rp570 juta dengan uang muka hanya Rp28,5 juta.
Menurut hitungan orang proyek, harga Rp6 juta per meter persegi itu sama dengan menjual harga pokok produksi atau biaya investasi proyek apartemen di Meikarta. Tetapi, ya. begitulahlah strategi dan taktik Lippo dalam menjual Meikarta. Terbukti, dampaknya dahsyat dengan pembukuan penjualan unit sudah mencapai 100.000 unit, seperti klaim yang disampaikan oleh James Riady, salah satu figur utama dalam bisnis konglomerasi Lippo Group.
Penulis yakin harga Rp6 juta per m2 itu bukanlah harga yang dituju Lippo, tetapi menempatkannya sebagai strategi harga gimmick marketing untuk mendapatkan respon bola salju (snowball effect) untuk mendorong nilai Meikarta tumbuh hingga ke tingkat harga yang diinginkan oleh Lippo tentunya.
Di sis lain, keberadaan proyek Meikarta ini masih diselimuti oleh kecurigaan banyak pihak berkaitan dengan perizinan dan motivasi dari pengembang proyek tersebut. Salah satu yang paling keras berteriak terhadap proyek Meikarta adalah Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Jawa Barat yang menuding proyek itu belum memiliki izin dari Pemprov.
Tak ketingalan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)- sebagai NGO kepanjangan kepentingan konsumen- sudah bersuara pula soal Meikarta, yang menyarankan publik untuk menunda pembelian properti di Meikarta. Fokus YLKI ada pada model penjualan pre-project selling atau pre sales– dimana sesungguhnya model itu sudah jamak dilakukan oleh pengembang properti di Indonesia dan praktik industri properti di dunia.
Menurut YLKI, boleh saja pihak Lippo Group menilai bahwa apa yang dilakukannya tersebut sudah lumrah dilakukan pengembang dengan istilah Pre-project Selling.
Namun, praktik semacam itu pada akhirnya posisi konsumen berada dalam kondisi yang sangat rentan dirugikan karena tidak memiliki jaminan atas kepastian pembangunan. Padahal pemasaran yang dilakukan tersebut, diduga keras melanggar ketentuan Pasal 42 UU No. 20 Tahun 2011, yang mewajibkan pengembang untuk memiliki jaminan atas Kepastian peruntukan ruang; kepastian hak atas tanah; kepastian status penguasaan gedung; perizinan; dan jaminan pembangunan sebelum melakukan pemasaran.
Menurut data YLKI, sistem pre-project selling dan pemasaran yang dilakukan oleh banyak pengembang sering kali menjadi sumber masalah bagi konsumen di kemudian hari. Terbukti sejak 2014-2016, YLKI menerima sekurangnya 440 pengaduan terkait perumahan, yang mayoritas masalah tersebut terjadi akibat tidak adanya konsistensi antara penawaran dan janji promosi pengembang dengan realitas pembangunan yang terjadi.
Persoalan yang menusuk proyek Meikarta, serupa suara Deddy Mizwar dan YLKI itu tentu menjadi tantangan bagi Lippo untuk menyelesaikannya. Sejauh ini, respon Lippo soal masalah ini tergambar dalam pernyataan Direktur PT Lippo Karawaci Tbk., Danang Kemayan Jati, yang mengatakan perusahaannya tidak memiliki masalah dalam pembangunan properti Lippo Meikarta. Menurut Danang, saat ini manajemen sedang menuntaskan proses perizinan proyeknya ke Pemerintah Kabupaten Bekasi.
“Semuanya sedang dalam proses, mulai Amdal, izin mendirikan bangunan dan izin prinsip ke Pemerintah Kabupaten Bekasi. Perizinan itu tidak di pemerintah tingkat satu (provinsi), tapi di pemerintah tingkat dua atau kabupaten. Jadi, proses ini tidak ada hubungannya dengan pemerintah provinsi (Jawa Barat),” tutur Danang Kemayan Jati, seperti dilansir Tempo.co Selasa, 1 Agustus 2017.
Danang menjelaskan, kegiatan pemasaran yang dilakukan Lippo yakni dengan terlebih dulu menjual konsep merupakan hal yang wajar dilakukan oleh developer. Adapun yang dibayarkan oleh pelanggan saat ini sebenarnya bukan merupakan downpayment atau uang muka, melainkan nomor urut pemesanan.