TPCOM, BOGOR– Provinsi di Jawa memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 500- 1000 jiwa per km². Secara keseluruhan demografi populasi nasional pada 2045 diperkirakan terkonsentrasi di megapolitan. Perkembangan penduduk megapolitan dan metropolitan sangat tinggi. Populasi penduduk di perkotaan diperkirakan mencapai 80% dari total populasi nasional pada 2050.
Ledakan penduduk ini menimbulkan dampak makin menyusutnya lahan hutan dan sawah karena dialih fungsikan untuk membangun permukiman. Kondisi ini menimbulkan dampak ekologi, dimana terjadi bencana banjir dan longsor. Hal ini sudah menjadi persoalan besar. Budi Yanto Lusli, President Director Grup Synthesis Development mencoba menyampaikan perspektifnya sebagai developer terkait hal ini. Transaksiproperty.com berkesempatan mewawancara-i-nya di Hotel Aston Sentul Lake Resort & Conference Center, sebagai berikut:
Persoalan alih fungsi lahan sudah sedemikian berat?
Iya. Bencana alam berupa banjir dan longsor di sejumlah daerah adalah karena alih fungsi lahan yang sangat masif. Kalau kita lihat statistiknya alih fungsi lahan hutan lebih besar. Selama ini agak keliru kalau mengatakan alih fungsi lahan sawah yang paling berat. Datanya menunjukan lahan sawah justru bertambah di Indonesia. Yang berkurang sangat luas itu lahan hutan dan lahan pertanian kering non padi. Kebanyakan lahan ini habis untuk permukiman dan industri.
Ini ada kaitannya dengan terjadinya bencana. Seperti bencana longsor yang terjadi di Desa Banaran, Pulung, Ponorogo, Jawa Timur, beberapa waktu yang lalu. Karena lahan banyak habis untuk permukiman, lalu hutan dibabat jadi pertanian termasuk lahan perbukitan.
Dari sisi industri properti bagaimana?
Saya melihat dari sisi kebijakan pemerintah. Kini kebijakan hunian bersubsidi masih dominan untuk hunian tapak. Kalau tidak salah 70% dari alokasi penyaluran KPR bersubsidi dan FLPP itu untuk hunian tapak. Hanya sebagian kecil yang digunakan untuk mendukung hunian vertikal, seperti program rusunami bersubsidi. Rumah tapak itu menghabiskan lahan yang lebih banyak ketimbang rusunami dalam merumahkan masyarakat. Kami coba hitung untuk pengembangan 1 hektare lahan hanya bisa untuk membangun sekitar 100 unit rumah tapak. Sedangkan kalau dibangunkan proyek rusunami bisa untuk menyediakan hunian sebanyak 1000 unit.
Dari sisi pengelolaan lahan jelas rusunami itu lebih efektif dan baik dari aspek ekologi. Tidak banyak lahan yang habis. Karenanya saya punya gagasan agar program subsidi itu diarahkan saja untuk rusunami. Kalau kebutuhan rumah setiap tahun adalah 1,2 juta unit, maka hanya diperlukan lahan sekitar 1.200 hekatare kalau yang dibangun adalah rusunami. Kalau yang dibangun adalah rumah tapak, maka kebutuhan lahan yang diambil dari sawah atau lahan hutan mencapai 12.000 hektare setiap tahunnya.
[Catatan: Budi Yanto Lusli pernah menjadi Direktur Keuangan PT Dyandra Media International Tbk, President Director PT Synthesis Karya Pratama, Direktur PT Brilliant Sakti Persada, Direktur PT Pradani Sukses Abadi, Direktur Pelaksana Intersatria Budi Karya Pratama, dan Direktur PT Archipelago Sapta Pesona. Juga menjadi Direktur PT Griya Nusa Kencana dan PT Nusa Dua Indonesia. Budi sendiri menamatkan gelar sarjananya di Universitas Katolik Parahyangan dan pendidikan magisternya ditempuh di PPM Institute of Management.]
Bisakah masyarakat menerima program hunian bertingkat?
Ini soal budaya. Masyarakat kita memang belum terbiasa dengan hunian tinggi. Tapi pemerintah harus mendidik masyarakat terbiasa hidup di hunian rumah susun atau apartemen. Kita harus mulai efektif menggunakan lahan untuk kepentingan permukiman. Kalau tidak bencana alam akan semakin gampang terjadi. Kita menjadi rentan terhadap banjir dan longsor.
Jadi fokus untuk mengembangkan rusunami atau rusunawa itu sangat mendesak dilakukan pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan, lalu ajak pengembang swasta atau BUMN untuk menggarapnya. Di sisi lain, masyarakat terus diedukasi agar membiasakan diri hidup di hunian vertikal.
Kebijakan ini berlaku secara nasional?
Bisa saja. Tapi yang paling mendesak itu di Jawa yang lahannya makin krisis karena habis untuk permukiman dan industri. Kalau Papua jelas masalah lahan tidak menjadi persoalan sehingga mungkin kebijakan rusunami belum menjadi kebutuhan mendesak. Tetapi di beberapa kota besar lain seperti mengalami hal yang sama seperti kota-kota di Jawa.
Kalau kebijakan rusunami untuk hak milik dan rusunawa untuk sewa diterapkan, mungkin dibuat perlakuan berbeda di wilayah perkotaan dan perdesaan. Kebijakan rusun di desa cukup untuk konstruksi berlantai lima atau enam saja. Sedangkan di perkotaannya baru mengarah ke hunian tinggi berlantai 10 lantai atau 30 lantai.
[Sedangkan Synthesis Development, dimana Budi kini menjadi nahkodanya adalah perusahaan yang berangkat tumbuh dari perusahaan konsultan properti yang memiliki keahlian khusus sebagai konsultan dan manajemen pusat perbelanjaan. Sewaktu itu nama benderanya adalah ProLease.
Kini setelah melakukan transpormasi bisnis menjadi pengembang properti bernama Synthesis Development, perusahaan ini tumbuh dengan proyek-proyek propertinya dengan proyek yang paling menyita perhatian yaitu rusunami Kalibata City yang digarap seluas 12 ha di samping makam pahlawan Kalibata. Proyek ini menjadi hunian komunitas terbesar dengan jumlah unit apartemen mencapai 13.000 unit.
Peralihan menjadi pengembang dimulai sejak 1999 dengan proyek perdana adalah revitalisasi gedung Granadha dengan Balai Sarbini-nya yang sangat ikonik itu. Synthesis bersama Agung Podomoro Group berhasil menyulapnya menjadi lebih modern dan megah dengan nama baru, Plaza Semanggi. Kini gedung ini diketahui sudah menjadi milik Lippo Karawaci. Sedangkan proyek apartemen pertama yang berhasil digarap adalah Casablanca Mansion di Jakarta Selatan. Kini, perusahaan ini sudah berhasil mengembangkan lebih 10 proyek apartemen, perkantoran dan pusat perbelanjaan di sejumlah lokasi.]
Berminatkah pengembang menggarap rusunami bersubsidi?
Kalau iklimnya bagus dan ada marginnya jelas pengembang berminat. Tetapi kalau mengacu kepada aturan yang ada sekarang agak berat. Saya melihat setidaknya ada delapan hambatan untuk komersialisasi program rusunami bersubsidi. Delapan hambatan itu adalah soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kebijakan harga, aturan akad kredit, kewajiban parparkiran, kebijakan insentif PPH, kebijakan besaran subsidi bunga kredit KPR, hingga soal bantuan uang muka bagi konsumen yang berasal dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah itu.
Kalau delapan hambatan ini bisa diperbaiki tentu pengembang sangat antusias untuk masuk program rusunami bersubsidi. Saya yakin masyarakat juga banyak yang berminat membelinya sehingga program rusunami untuk dibeli dan rusunawa untuk disewa masyarakat akan lebih masif. Penggunaan lahan untuk permukiman akan lebih efisien di perkotaan maupun di perdesaan.
Tim Redaksi